UNDANGAN KAWINAN DI MASA PANDEMI ITU MASALAH BARU KAUM PROLETAR
Sejak pemerintah mengeluarkan aturan tidak boleh menggelar resepsi pernikahan di masa pandemi, dari Maret sampai Juli (kalo gak salah), temen-temenku yang pada mau merit lebih memilih untuk postpone kawinannya sampe diperbolehkan lagi menggelar resepsi ria. Ya walaupun masih bisa kawinan tanpa resepsi dan hanya akad saja, kayaknya untuk masyarakat Indonesia wa bil khusus Jawa, menikah tanpa resepsi bagai sayur tanpa mecin, ora sedep.
Keadaan ini dimanfaatkan dengan
baik oleh kaum-kaum minor budget dengan menyegerakan pernikahan di masa pandemi sebagai aji
mumpung kesempatan yang baik untuk segera memiliki foto jejer begron
biru yang ‘khas’ itu, agar segera diluncurkan ke feed aiji dengan kepsyen ‘till jannah ya pasangan halalku’, ‘sah ya’
(emot love), atau cukup dengan emoticon cincin dan love love love, tentu saja
dengan matur ke orang tua ‘lagi
pandemi pak buk, gak boleh mengundang kerumunan orang’. Oke~
Kini setelah aturan mengenai
menggelar resepsi pernikahan di Era New Normal telah dikeluarkan seperti wajib
memakai masker, melakukan pengecekan suhu, menyediakan tempat cuci tangan,
dilarang salaman tangan dan membatasi jumlah tamu, masyarakat mulai proaktif kembali
untuk menggelar pernikahan dan resepsi yang sempat tertunda itu. Ada yang akad
dulu baru beberapa bulan kemudian resepsi, ada juga yang langsung akad plus dangdutan resepsi.
Dalam hal ini, kayanya bukan aku
aja yang merasakan gencatan serangan undangan kawinan dari kawan-kawan. Mosok
yo di bulan Agustus kemarin aku dapet 6 undangan dalam satu bulan, ndilalah momennya pas setelah idul adha berbarengan
sama pemerintah keluarin aturan resepsi di Era New Normal.
Dalam tradisi jawa di tempatku,
menikah memang baiknya setelah momen idul adha, kecuali yang pake itung-itungan
kejawen itu belum tentu yhaa. Pas aku pulang kampung di liburan idul adha
kemarin, aku dapet 3 undangan (tau aja aku lagi di rumah -_-) yang kesemuanya
dari temen SMP, SMA dan tempat kerja. Kalo inget di tahun-tahun yang lalu
undangan paling banyak memang pas bada
aji dan Idul Fitri, tapi gak sebocor ini.
Pas kemarin-kemarin aku telponan
sama ibuk, blio terkesan mengeluh karna undangan meh 2 hari sekali nyampir ke
rumah, hal itu bakal mengurangi jatah nempur
beras ibuk. Tak kasih tau nih ya, kondangan di kampung-kampung di Jawa itu
bukan mung beras tok, berasnya
minimal 2kg, ada mie kuning satu ball merk Spider. Dua barang itu masuk di hukum
Fardu ‘Ain. Kalo mau lebih wah ya bisa tambah telor 2kg, atau nyumbang telor
asin 100 biji itu anda sudah diperhitungkan sebagai Crazy Rich area ibu-ibu PKK
atau Fatayat. Tapi yang biasanya nyumbang banyak kayak gitu cuma bu RT atau bu
camat.
Kondangan yang bertubi-tubi yang
dialamatkan untuk kedua orang tuaku akan
berimbas ke fase kehidupanku kelak, di mana
rencana menikah tanpa resepsi biar hemat
sakral akan sulit terwujud karna kalo di kampung
sistem mbalekne duit kondangan itu
masih berlaku. Ibu bakal kuliah subuh sampe
duha kalo kawinan gak resepsian.
Tak itungin nih ya, aku sebagai
karyawan gaji UMR (ofkors bukan UMR Jogja) masih rada berat hati buat ngondanganin
kalo undangannya sebanyak ini. Sebagai karyawan pabrik area Bekasi, minimal
kondangan daerah planet namex cabang Timur Jakarta ini gocap lah ya, itu belaku
buat yang gak kenal-kenal amat. Kalo yang kenal dan deket, itu beda nominal
lagi.
Cobalah, kalo 3 orang gak kenal-kenal
amat gocap, 3 orang lagi kenal deket 200 (acuan mengikuti harga sprei termurah
Informa), coba itung dah berapa? Pitungatus seket dewe to? Itu dah memakan
16,4% dari gapok UMR Bekasi. Mumet rak ndasmu? Iki pos pengeluaran ngendi sing
meh dipotong?
Belum buat bayar kos-kosan yang naik
tapi gak nambah fasilitas kayak
pemerintah, biaya kuota internet yang masyaalloh boros larang, belom yang menanggung beban hidup ganda atau
bahasa kerennya generasi sandwich, mosok ngomong ke ibu ‘buk, wulan iki gak transferan yo? Duite kanggo gek kondangan..’ Yaopo
tega, mylove~
Jadi untuk para pengampu
kebijakan, terkait masalah di atas apakah ada solusi atawa subsidi bulanan
untuk menaggulangi masalah tersebut agar cashflow kami tidak terganggu? Atau
lord LBP bersedia diangkat menjadi menteri koordinator bidang pengentasan
masalah pengondanganan?
Yaiku urusan uripmu to,dik~
Komentar
Posting Komentar